Dari Dunia Superhero: Sebuah
Laporan Namanya Godam. Cirinya : ia kebal. Ia dapat terbang. Ia berwajah tampan, bertubuh atletis dan berambut rapi seperti Superman-yang barangkali merupakan model dari mana ia memperoleh dirinya. Ia memakai jubah, atau atau lebih tepat hiasan kain yang melambai-lambai bergelombang di punggungnya. Di dadanya tertulis huruf "G", sebagaimana Superman memasang huruf "S". Tapi berbeda dari Superman yang berasal dari planet Krypton, yang diluncurkan oleh bapaknya tatkala masih bayi ke bumi, beberapa saat sebelum planet di bawah matahari merah itu meledak, Godam tidak punya sejarah yang mirip-mirip science fiction. Asal-usul Godam lebih menyerupai dongeng siluman versi baru-atau mungkin juga mirip cerita Captain Marvel ciptaan Bill Parker dan C.C. Beck yang menjadi mashur sejak muncul di Amerika Serikat di tahun 1940. Captain Marvel adalah penjelmaan seorang anak penjual koran yang miskin-yang kemudian bekerja di radio. Dengan berteriak "Shazam!" ia bisa berubah jadi pria perkasa. Godam juga pria perkasa yang sebenarnya adalah penjelmaan seorang sopir berwajah buruk yang bernama Awang. Tiap kali ada kejahatan terjadi dan ia merasa perlu menolong, ia mengenakan sebentuk cincin sakti ....lalu berubahlah dia menjadi Godam. Dan biasanya ia tidak bersendiri dalam menjalankan tugasnya. Ada sejumlah tokoh lain, para superhero yang juga jelmaan dari orang-orang yang sehari-hari tidak terlihat sebagai tokoh istimewa-atau sekedar superhero fantastis yang tidak pernah tahu apa kerjanya kalau tidak sedang bertempur. Mereka ini sahabat Godam. Yang pertama-tama mungkin perlu disebut ialah Maza. Atau lengkapnya: Maza sang penakluk. Ia bertubuh, dan berpakaian mirip Tarzan. Bedanya ia bukan raja hutan belantara. Bahkan dalam buku Sang Kolektor nampak Maza berbaring di rumput sambil mengeluh tentang tugas yang diberikan kepadanya oleh Godam dan yang lain-lain: "Kurang asem! Mereka telah memerankan aku sebagai Tarzan! Sendirian di tengah hutan ditemani seekor binatang!" Maza juga penjelmaan. Dalam hidup sehari-hari ia seorang pelukis, bernama Kanigara. Pada saat-saat ia dibutuhkan, ia menghujamkan kuasnya ke tanah, dan suatu metamorfosis terjadi : Ia berubah menjadi Maza, majikan dari seorang hantu besar gundul berkuncir yang bernama gampangan -jin Kartubi (sebelum ejaan baru ditulis: "Cartuby"). Makhluk ini pada dasarnya hanya semacam senjata buat Maza. Kartubi bukan hantu dalam kisah Aladdin. Ia tidak menghadirkan hal-hal yang semula tak ada untuk memenuhi pesanan. Ia merupakan kelanjutan tenaga kasar si pemilik. Di samping Maza, biasanya terdapat Pangeran Mlaar. Keistimewaan tokoh ini agak sejajar dengan kelebihan Plastic Man, ciptaan Will Eisner dan Jack Cole yang mulai muncul di Amerika Serikat di tahun 1941. sperti Plastic Man, Pangeran Mlaar bisa memperpanjang anggota badannya-juga lehernya-sampai sangat jauh, dan mempergunakan itu baik untuk memilin lawan atau mengintip sesuatu. Tapi jika Plastic Man berasal dari seorang bekas penjahat yang jadi insyaf oleh kebaikan seorang pastur-yang merawat dia setelah tubuhnya kena suatu unsur kimiawi yang menyebabkannya dapat mulur-maka Pangeran Mlaar punya latar belakang lain. Ia sebenarnya berasal dari palnet di luar bumi, yang bernama "Covox". Pakaian "dinasnya"-nya seperti seorang ksatria eropa abad pertengahan , dengan rambut panjang menutupi kuping. Tubuhnya bisa memanjang, karena menurut cerita Kubu Antariksa di Angkasa Luar, di mana ia jadi peran utama-ia terkena "radiasi" di sebuah tambang uranium di bumi. Namun pada umumnya Maza serta Pangeran Mlaar lebih sering merupakan sekedar peran pembantu dalam kisah Godam. Di samping mereka, ada satu tokoh lain yang lebih menonjol : Gundala , Putera Petir. Ia berpakaian hitam-hitam, berupa kaus ketat yang menutupi seluruh tubuh dan sebagian dari wajahnya. Kepalanya pun tertutup dengan kedok hitam itu, dengan hiasan setangkai sayap atau bulu di masing-masing kupingnya. Kostum ini mirip Captain America. Bedanya : Gundala tertutup dalam warna gelap sedangkan pakain Captain America -yang muncul di masa menjelang perang dunia II ketika patriotisme Amerika sedang pasang naik-berwarna merah putih biru. Beda lain tentu asal-usulnya. Di sinipun, jejak science fiction tidak nampak jelas dalam Gundala. Captain America berasala dalam diri Steve Rogers, yang oleh Prof. Reinstein diberi serum tertentu sehingga sehingga memiliki tubuh dan mental yang luar biasa. Gundala tak mengalamai proses "ilmiah" seperti itu. Dalam keadaan tidak "in action" ia adalah seorang insinyur muda, Sancaka yang tidak bisa berkelahi dan tidak populer di kalangan gadis. Sancaka suatu ketika diangkat anak oleh Kaisar Cronz, si raja petir, setelah suatu ketika ia tersambar geledek. Setiap kali mengenakan kalung pemberian Cronz dan membuka liontinnya, ia akan segera berubah menjadi Gundala. Ia tak bisa terbang, tapi punya kemampuan lari yang luar biasa cepat. Dan meskipun ia tidak kebal, ia sanggup menembakkan petir dari telapak tangannya. Gundala, yang dilukis dan diperan-utama-kan oleh Hasmi, sebagaimana Godam, yang dilukis oleh Wid N.S., sering muncul bersama-sama superhero lain dalam satu cerita. Tapi jarang Gundala menjadi tokoh sendirian, berada di titik fokus petualangan, tanpa disertai yang lain. Bahkan Godam terkadang tak ditampilkan oleh Hasmi bersama superheronya ini, sementara Wid N.S. hampir tiap kali menyertakan jagoan lain dalam Godam-nya-tentu saja dengan keistimewaan masing-masing, meskipun variasi ini tak selamanya memikat : Sembrani, Aquanus, jagoan wanita Tira, dan Sun Go Kong, monyet siluman dari cerita Tiongkok. * * * Kita tidak tahu bagaimana sebentar lagi nasib tokoh-tokoh komik itu. Para jagoan cerita gambar Indonesia lazimnya tidak punya cukup kekuatan untuk bertahan di pasar. Kita kini misalnya tak pernah melihat lagi edisi baru atau cerita baru Si Buta dari Gua Hantu yang di akhir 1960-an begitu populer hingga difilmkan orang dalam tahun 1970. Mungkin juga seperti halnya jago silat ciptaan Th. Ganes itu, munculnya jenis superhero dalam komik Indonesia sejak menjelang pertengahan 1970-an pada suatu saat akan disusul pula oleh jenis lain. Genre ini memang nampaknya sementara ini sedang menggantikan popularitas genre silat, yang menurut sebuah catatan merupakan 49 persen dari judul yang beredar sejak awal 1971, disamping genre "roman remaja" yang mencapai jumlah 37 persen. 1 Tetapi dunia penerbitan komik berubah dengan cepat, dan Godam serta Gundala bisa dengan mudah terpukul mundur. Sampai sejauh ini, mereka masih bisa bertahan di sebuah lorong yang agak gelap tapi teduh di satu bagian dari Pasar Baru, Jakarta. Di lorong buntu ini berjajar dua tiga buah kios, masing-masing tak lebih luas dari 4 x 4 meter, penuh dengan buku komik, yang ditumpuk tak terlalu teratur. Toko "Prasidha"--salah satu kios di kiri--adalah penerbit seri Godam dan Gundala. Di depannya ada penerbit lain untuk seri komik lain, yang terdiri dari cerita silat atau cerita cinta, dan mungkin juga satu cerita superhero agak baru, Rado, semacam kombinasi antara Godam dan Gundala sendiri dalam pertarungan, yang terbit cukup teratur tapi tak jelas mencantumkan nama penerbitnya. Menurut tauke "Prasidha", dari semua penerbitannya kini, cerita Godam dan Gundala-lah yang paling laris. Ia menyebut angka 1.000 eksemplar untuk tiap bagian yang terbit, tapi melihat banyaknya toko buku yang menjual seri itu--dan lalu lalang para agen yang yang datang mengambil ke sana --angka tadi jelas teramat diperkecil. Si pemilik toko kemudian mengeluh bahwa para pengarangnya terlambat mengirimkan sambungan cerita yang kini baru selesai buku ketiga ... Mereka, para penerbit seperti "Prasidha", adalah tipikal. Mereka bukan penerbit dengan niat besar dan sistem yang luas untuk menjelajahi khalayak pembaca secara massal. Mereka--sebagaimana halnya para tokoh komik yang mereka sajikan--seolah-olah sudah menempatkan diri agak di bawah bayangan, di pinggir yang agak tak terlihat dari dunia bacaan masyarakat. Apa lagi kini penerbit besar seperti Gramedia, dengan bekerjasama dengan parapenerbit luar negeri, membanjiri kita dengan arus buku terjemahan yang "lebih terhormat". Seri Album Cerita Ternama dari penerbit ini misalnya menampilkan ringkasan--walaupun seringkali agak kaku dan kurang "menggugah" --dari karya-karya pengarang besar seperti Shakespeare, Alexander Dumas , Cervantes, Herman Melville atau Charles Dickens. Di samping Gramedia, sebuah penerbit terkemuka lain Indira, saudah mulai menerbitkan terjemahan seri petualangan Tintin, sebuah karya Herge yang termashur ke seluruh dunia, terutama Eropa daratan. Seri Album Cerita Ternama terbit dengan sampul berwarna yang amat memikat dan dengan isi yang terdiri dari kurang lebih 200 gambar dalam dua warna. Tintin malah berwarna lengkap, sebagaimana komik lelucon yang berasal dari Amerika, umpamanya Woody Woodpecker dan Andy Panda. Harga komik terjemahan ini relatif lebih murah. Satu cerita dalam Album Cerita Ternama hanya Rp. 175,- per buku, sementara untuk Godam orang harus membayar Rp. 200,- itupun untuj satu buku yang merupakan satu fragmen saja dari keseluruhan kisah. Untuk satu "edisi lengkap", yang biasa terdiri dari 9 jilid, harga di toko buku adalah Rp. 2.800,-. Kelebihan Godam dan Gundala agaknya ialah : buku ini tidak cuma untuk para pembaca anak-anak . Sebagai bacaan kanak-kanak, mereka mungkin tak akan dapat banyak kesempatan lagi. Lapisan masyarakat di kota yang mampu, dengan kecenderungan yang biasa pada mereka sebagai konsumen untuk produk-produk yang "bertaraf internasional", dan sebagai para orang tua yang sangat sadar akan nasib pendidikan anak mereka, nampaknya akan lebih cenderung untuk memilih bacaan yang lebih "necis" ketimbamg seri Godam dan Gundala--yang mungkin tak mereka perhatikan, karena tak pernah mereka kenal dalam kehidupan dekat mereka. 2 Akan tetapi lemahnya posisi Godam, seperti lemahnya posisi banyak tokoh komik yang diciptakan orang Indonesia, tidak hanya faktor-faktor dalam pasar yang semacam itu. Buku komik Indonesia dalam sejarahnya tidak pernah ditopang oleh serangkaian prasarana sosial-ekonomi yang dengan kokoh terdapat dalam sejarah komik Amerika Serikat, tokoh satu seri komik dapat terus-menerus hadir sebagai bahan bacaan sampai selama 70 tahun--seperti yang misalnya terjadi pada "The Katzenjammer Kids." Namun itu agaknya hanya bisa terjadi karena di Amerika Serikat, cerita komik yang bermula sebagai comic strip pada dasarnya tidak pernah merupakan bidang kerja yang "mandiri." Para seniman komik mula-mula dilahirkan dan dipekerjakan oleh para penerbit surat kabar. Hasil karya mereka hanya disajikan lewat suratkabar tempat mereka bekerja. Perubahan hubungan kerja yang seperti ini pada hakekatnya tidak banyak terjadi ketika kemudian berdiri apa yang disebut "sindikat-sindikat." Sindikat-sindikat ini juga pada dasarnya juga perusahaan media dengan para seniman komik bekerja untuk mereka. Dalam arti tertentu suasana bekerja berbeda, karena sang seniman komik tak hanya satu bagian dari totalitas hasil produksi hasil produksi seperti sewaktu mereka merupakan bagian dari suratkabar dulu. Dengan demikian mereka seakan-akan beradadi ujung lain dari suatu evolusi yang aneh yang terjadi dalam produksi comic strip : tidak lagi dalam suatu industri "tipe modern", di mana mereka sebagai buruh bekerja dalam satu tempat dengan pengawasan, tetapi dalam semacam gilda pertukangan, dan sindikat hanya menjadi penerima dan penjual produk yang dihasilkan . Meskipun demikian, para seniman komik ini harus menghadapi kemungkinan campur-tangan dari para editor sindikat., yang memeriksa betul-tidaknya ejaan, konsistensi penggambaran dan sekaligus juga menyensor moral dan mungkin juga kecenderungan politik. Dalam kasus buku komik, yang berkembang menjadi industri tersendiri semenjak awal 1930-an di Amerika Serikat, independensi seniman komik menjadi lebih tidak penting : industri ini beroperasi dengan asas assembly line dan spesialisasi yang sempit. 3 Buku komik Indonesia , sebagaimana diwakili oleh seri Godam dan kawan-kawannya, bukanlah suatu industri. Produksi maupun penerbitannya lebih merupakan pertukangan kecil. Pengarangnya, Wid N.S. untuk Godam dan Hasmi untuk Gundala, tinggal di Yogya, dan bekerja dari "studio" mereka di sana. Mereka mengirimkan karya mereka ke Jakarta--tidak selalu sekaligus selesai. Bahkan seperti agaknya terlihat dalam cerita Gundala Sampai Ajal, sang pengarang seakan-akan dengan sengaja mengulur-ulur cerita--mungkin karena alasan pembayaran--yang mengakibatkan petualangan yang panjang itu bertele-tele (dan ternyata, dalam Pangkalan Pemunah Bumi, lanjutan Sampai Ajal, cerita yang sepanjang tujuh jilid itu disebut sebagai karangan skelompok penjahat!). Wid N.S. dan Hasmi mengirimkan karya mereka ke Jakarta, sebagian demi sebagian, yang tentu saja menyebabkan tidak mudah untuk menjaga keutuhan dan suspens dari alur cerita. Penerbit mereka juga bisa berganti-ganti. "Prasidha" adalah penerbit mereka yang mutakhir. Dan dengan sendirinyabelum jelas benar, siapa pemegang hak cipta. Dalam kondisi seperti itu, sulit bagi cerita komik Indonesia untuk melanjutkan dirinya melalui estafet beberapa penggambar--apalagi beberapa generasi penggambar, seperti yang biasa terjadi pada tokoh-tokoh komik Amerika. Pelbagai masalah teknis produksi serta hukum belum belum memberi dasar yang kokoh untuk itu. Dan siapa pula yang akan menganggap serius dunia pembuatan dan penjualan komik, yang dikerjakan oleh sejumput anak muda dan penerbit yang secara terbatas mempromosikan produksi mereka? Cerita komik Indonesia, dengan demikian bukan saja tidak berniat, tapi juga mustahil untuk meninggalkan jejak dalam perbendaharaan kebudayaan Indonesia di masa kini dan kelak. Tokoh-tokoh datang dan hilang, dalam jarak waktu yang ringkas. Mereka tak pernah jadi refernsi bersama dalam perbincangan sehari-hari pelbagai generasi. Bahkan mungkin mereka asing bagi sebagian besar dari generasi yang ada kini. Itu tidak berarti mereka tak meninggalkan pengaruh sama sekali. Gambar Gundala, Godam, Maza dan Pangeran Mlaar pernah dicetak bersama Superman, Batman & Robin, Green Lantern dan lain-lain superhero Amerika dalam satu seri kartu kwartet, sejenis kartu permainan mirip remi untuk anak-anak. Tapi mereka pada umumnya--seperti halnya para penggambar komik Amerika waktu mereka memulai jenis kesenian ini--tidak acuh dengan kehadiran dan sumbangan mereka bagi kesadaran suatu bangsa. Dan meskipun tidak dapat secara persis bahwa mereka termasuk dalam suatu "adversary culture" 4 , mereka berada dalam ketidak-jelasan legitimasi. Berbeda dengan buku lain, penerbitan buku komik memerlukan izin kepolisian untuk setiap judul (suatu prosedur yang kemudian dikenakan juga pada komik berdasarkan karya Shakespeare atau H.C. Andersen). Dengan demikian mereka nampaknya selalu berada dalam keadaan dapat dianggap mengurangi "kebersihan" kebudayaan yang hendak diatur oleh para orang tua, para guru dan penguasa. Terlebih-lebih lagi mereka tidak pernah berada di dalam garis rituil kehidupan kita sehari-hari. Mereka tidak pernah melalui proses menjadi komik strip, yang menyebabkan--seperti yang terjadi pada tokoh-tokoh komik Amerika--mereka tampil sebagai unsur permanen dalam perjalanan riwayat seorang pembaca koran. Seperti ditulis Couperie, orang Amerika menjalani hidupnya dengan tokoh-tokoh yang sama. Ia dapat menandai tonggak-tonggak perjalanan hidupnya dengan kaitan kepada tokoh-tokoh itu. Mereka ini berhubungan dengan kenangannya yang paling awal. Sering , melalui masa perang , krisis, perpindahan tempat tinggal atau perceraian, tokoh-tokoh komik itu merupakan "elemen yang paling stabil" dalam khazanah ingatannya. Segi rituil inilah yang menyebabkan seorang pembaca Amerika bisa bersikap bermusuhan terhadap seri baru yang muncul--yang seakan-akan menimbulkan perubahan dan mengusik kelanggengan lingkaran "kenalan lama" yang berwujud para tokoh cerita gambar itu. 5 Berbeda dengan itu, Godam dan Gundala diproduksikan langsung untuk serial yang terbit dalam bentuk buku--dengan jarak waktu yang tidak selalu sama antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Karena tidak cukup kokoh dalam status sosial ekonomi, atau mungkin juga karena perbedaan latar belakang kebudayaan dengan para penerbit serta redaksi media yang ada kini, cerita gambar ini nyaris tidak pernah bersentuhan dengan establishment pers kita. Para penerbit koran dan majalah lebih cenderung untuk memuat komik terjemahan. Harian Indonesia Raya dulu terbit tiap hari dengan Tarzan dan Flash Gordon, dan edisi minggunya dengan Phantom serta Mandrake. Harian Kompas dengan Garth, Berita Buana dengan Rip Kirby, Johny Hazzard dan kemudian juga Flash Gordon. Majalah untuk remaja, Hai, terbit dengan pendekar Trigan serta Arad & Maya. Bobo dengan Oki, Bobo dan Paman Kikuk--semuanya terjemahan atau saduran. Atau, kalau bukan terjemahan, pilihan pers penerbit lazimnya adalah cerita yang lebih tampaj latar "Indonesia"-nya, berupa silat atau cerita rakyat. Para penerbit harian serta majalah biasanya tidak mengenal adanya superhero made in Indonesia yang hinggap di toko-toko buku. Atau, kalau tahu, mereka agaknya akan cenderung untuk memandang tokoh-tokoh itu sebagai hasil blasteran yang kurang layak untuk dimanfaatkan. Dan para superhero itu, yang lahir dari kelanjutan pengaruh "kebudayaan massa" Amerika Serikat, di dalam negerinya sendiri mungkin tidak dapat menjangkau apa yang terjangkau oleh medium seni populer yang lain : film. * * * Barangkali itulah sebabnya para superhero, para pencipta dan penggemarnya merupakan suatu komunitas yang intim--suatu dunia kecil tersendiri dengan semangat remaja yang satu sama lain rajin berkorespondensi. Dengan mudah dan sering sekali kita temukan di antara gambar kalimat-kalimat mengucapkan salam kepada rekan, kepada pembaca, tertentu dengan alamat tertentu yang jelas, atau mungkin pula kepada pacar. Di pojok satu gambar dalam buku Godam vs. Bocah Atlantis, misalnya, tertulis: "Dik Waryono Sudah Krasan, Ya?". Dalam Gundala Djatuh Tjinta, di antara dua bagian halaman digoreskan : "Salam buat: YETTY di SMEA I Jogya dari Endang". Dalam sebuah lakon serial Labah-labahMerah (seorang superhero lain, yang seperti halnya Laba-laba Maut dan Kawa Hijau merupakan adaptasi dari Spider-Man ciptaan Steve Ditko dan Stan Lee), yang berjudul Memburu Iblis Peminum Darah, Labah-labah Merah berhantam dengan seorang bandit bertopeng. Ternyata sang bandit meloncat ke atp sebuah toko buku yang berpapan nama"Toko Buku Parahyangan Karanggesat 14 A Cirebon". Di bawah adegan itu pengarangnya menulis: " Sorry deh oom 'Parahyangan' ... Banditnya rasa celutak!". Lalu; "Salam buat Oom sekeluarga". Lebih jelas lagi, tapi mungkin bisa lebih membingungkan bagi mereka yang pertama kali masuk ke dunia superhero ini, ialah rasa komunitas yang terdapat antara para pengarang komik. Dalam karya-karya mereka tak jarang mereka saling berkirim salam. Tapi lebih penting lagi ialah bahwa superhero ciptaan Hasmi bisa muncul dalam kisah superhero ciptaan Ricky N.S. atau Johny Andreas. Demikianlah Gundala pada suatu ketika tiba-tiba bersama Godam muncul membantu Laba-laba Maut dalam suatu pertempuran, atau seperti dalam cerita Panik Godam bekerjasama dengan jagoan wanita Tira--yang dalam buku lain merupakan jagoan karya Nono. Tentu saja yang menggambar Godam dalam cerita superhero Rado adalah Ricky N.S., bukan pengarang Godam yang semula yakni Wid N.S. Begitu pula yang menggambar Gundala dalam cerita superhero Labah-labah Merah adalah Kus Braminana, bukan Hasmi. Dengan kata lain, para superhero itu salimg bersahabat, dan seorang superhero dari serial yang satu dapat dipinjam oleh pengarang superhero yang lain. Yang paling banyak dipinjam agaknya adalah Godam dan Gundala. Ini menunjukkan bahwa Wid N.S. dan Hasmi cukup berpengaruh dalam dunia buku komik, dan terkadang terasa (sperti dalam kisah superhero Vantana dan Kapten Meteor) Godam dan Gundala dipergunakan untuk mengangkat "derajat" seorang jagoan baru yang belum dikenal para pembaca. Karena tidak adanya ketentuan mengenai hak cipta dan tiadanya perjanjian antara pengarang komik. Para pencipta Godam dan Gundala tentulah tidak dapat berbuat apa-apa bila hal semacam itu terjadi. Apalagi pada akhirnya mereka tidak dirugikan. Peminjaman sperti itu justru lebih memperkenalkan superhero yang mereka ciptakan , dan peminjaman itu toh semacam pengakuan atas supremasi mereka. Bahwa supremasi itu kini berada di tangan Wid N.S. dan Hasmi, hal ini agaknya tidak mengherankan. Dengan mudah dapat disimpulkan bahwa mereka berdua lebih mampu ketimbang para pengarang lain dalam menyusun plot cerita. Wid N.S., terutama, mengesankan kelebihan teknis menggambar yang makin berkembang, dan juga kepandaian menjaga dinamik cerita serta suspens--juga dalam plot yang cukup rumit seperti Bocah Atlantis Ztulos, dari peradaban teknologi yang lebih tinggi, berhasil menciptakan para pengikutnya dari anak-anak yang telah dikontrol fikirannya dan juga dengan cara membuat duplikat para warga kota. Duplikat-duplikat ini pada gilirannya menjadi agen Ztulos yang sulit diketahui. Tentu saja pada akhirnya Godam dan kawan-kawannya (termasuk Sun Go Kong, siluman kera yang ajaib itu) berhasil mengalahkan mereka, tapi setelah melalui perbenturan pelbagai taktik baru dengan kontra taktik yang baru pula. Berbeda dengan serial Labah-labah Merah atau lainnya yang sering terlalu mengandalkan perkelahian--termasuk adegan darah muncrat seperti dalam komik silat yang terpengaruh film Hongkong--kisah Godam lebih bersih, bahkan agak halus.6 Setaraf dengan itu adalah tokoh Gundala dari Hasmi. Di sini, apa yang kurang dari Wid N.S--yakni humor, yang padanya terasa agak kaku--pada Hasmi justru merupakan kelebihan. Barangkali bagi para pembaca yang lebih dewasa, daya tarik serial Gundala adalah humornya. Dalam Gundala Sampai Ajal, misalnya , ia nampak dirayu seorang putri dari planet Srabigonk, Ratu Kin Clink dari kerajaan Beng Kong. Gundala tak mau. Dia mengaku sudah punya istri dan 4 anak. Sri Ratu tahu, bahwa Gundala punya pacar saja belum. Maka ia tetap membujuk: "Lihatlah Gundala ... kulitku lembut karena selalu memakai sabun cap Gunung Meletus ...". Gundala menggerundel dalam hati : "Wah, ngomongnya sudah seperti iklan sabun". Keintiman antara peserta dunia mereka pula agaknya yang menyebabkan dalam petualangan fantastis para superhero itu toh terdapat banyak sekali unsur main-main, termasuk senyum yang mengejek diri sendiri.7 Tapi ejekan pada diri sendiri ini juga mempunyai fungsi lain--yang mungkin dengan tegas membedakan karya Wid N.S. dan Hasmi dari kisah superhero Amerika asli. Fungsi itu agaknya mirip dengan fungsi "efek pengambilan jarak" yang dipergunakan dalam teater : bagaimana menarik kita dalam permainan fantasi sementara sekaligus menyadari bahwa semua itu sama sekali nyaris sebuah gurauan. Cerita superhero itu jelas membutuhkan hal sedemikian. Mereka diciptakan oleh orang Indonesia, dengan tokoh-tkoh Indonesia, dan dengan latar Indonesia--sementara si pengarang dan kita tahu bahwa para superhero pada dasarnya adalah benda asing di latar itu. Sebab latar utama superhero Amerika biasanya sebuah metropolis : kota besar dengan gedung-gedung pencakar langit, yang mengaksentulisasikan suasana luas dan misterius, di mana penjahat-penjahat menjadi bisa meyakinkan dalam ukuran besar, dan di mana sang superhero--yang keajaibannya biasanya adalah keajaiban "ilmiah" --bisa diterima tanpa banyak dipertanyakan, walau ia ke sana ke mari dengan kostum yang aneh. Dalam semangatnya, kisah superhero Indonesia sperti Godam dan Gundala juga ingin berada dalam latar itu. Kejar-mengejar mobil di jalan yang licin dan halus di malam buta, di antara rumah-rumah gedung serta pencakar langit, adanya tempat-tempat yang menyimpan laboratorium yang hebat dan pasukan polisi yang rapi--semua itu memang ditampilkan oleh Wid N.S. dan Hasmi ataupun pengarang yang lain. Namun Hasmi dan Wid N.S.--yang bekerja di Yogya--tentulah tidak dapat eyakinkan untuk terus-menerus menggunakan latar metropolis yang tipikal amat modern itu, sementara mereka berkata bahwa kota tempat Gundala dan Godam berpangkal adalah sebuah kota di Indonesia (kadang disebut jelas : Yogya). Dan dalam kesadaran akan kontras antara kota yang ideal buat seorang superhero dengan kota Yogya itulah Hasmi mempermainkan humornya. Dalam Gundala Cuci Nama, tampak potret Gundala yang dituduh jadi penjahat dipasang sebagai poster di mana-mana di kota itu ; di antara penduduk kota yang lewat adalah laki-laki pakai blangkon dan surjan. Dan ketika Gundala harus mengejar si penjahat yang sebenarnya, ia terpaksa masuk ke tempat .... pertunjukkan wayang orang. Maka di antara barisan kursi penonton tampaklah Gundala, berpakaian hitam-hitam ketat dengan dua bulu di kepalanya, sedang berjalan menuju pentas. Seorang penenton nyeletuk : "Gundala kok sempat-sempatnya nonton wayang orang!" Unsur main-main seperti itu dengan agak tersamar terdapat juga dalam memilih nama, terutama nama-nama dari dunia asing. Seorang tokoh bertubuh raksasa dalam Sampai Ajal oleh Hasmi disebut "Rhapecus" --berasal dari bahasa Jawa "(o)ra pecus" yang berarti tidak pandai atau "tolol". Tokoh lain dalam Pangkalan Pemunah Bumi bernama "Wahkiatestu"--yang asal katanya pasti adalah "wah, kiat estu" (wah, betul-betul kuat). Sebuah pulau dengan enak saja disebutnya sebagai "Timphe Gembuz", suatu permainan bunyi dari "tempe gembus", sementara seorang Jepang dalam Seribu Pendekar diberinya nama "Sarune" (kurang-lebih : "porno-nya"), dan serang Muangthai disebut bernama "Sweng Wang". Dalam serial Godam, Wid N.S. juga mempergunakan teknik lelucon yang sama dalam memilih nama. Sebuah planet dalam Sang Kolektor disebut "Gijamzoe" (rokok "Dji Sam Soe") dan dua tokoh planet lain bernama Prof. Kaea Nuqu ("kae anuku" atau "itu anu saya") dan Jenderal Quia Numu ("kuwi anumu", atau "itu anumu"). Dan mau tahu bagaimana pasukan robot dari planet Karista berbicara? Sebuah robot berseru : "Hublug! Blekubleg! Hublug!". Robot yang lain menjawab : "Bleg!" Mungkin olok-olok semacam itulah yang menyebabkan kita bisa menyukai Godam, Gundala dan kawan-kawannya. Sebab mereka superhero gaya Yogya, yang tak usah meyakinkan tapi menghibur, yang dengan berkostum aneh untuk dunia pewayangan, tapi--seperti sekali tertulis pada logo Godam dalam cerita Black Magic--berkata : "Kulo nuwun!" Catatan kaki 1 Marcel Bonneff, "Deux Images pour un Re've : la Bande dessine'e et le cine'ma indone'siens", Archipel, 5, 1973. hal 199. 2 Majalah Femina, 11 Mei 1976, umpamanya, memuat pilihan redaksi tentang buku komik mana yang dianjurkan dan tidak dianjurkan untuk anak-anak. Dalam daftar terlihat, bahwa satu cerita dalam seri Gundala, Dr. Djaka dan Ki Wilawuk, "tidak dianjurkan". Itu adalah satu-satunya judul dari serial Godam atau Gundala yang disebut. Dr. Djaka--paduan cerita horor dengan kepahlawanan superhero dan cerita silat Jawa--memang dengan jelas menggambarkan potongan kepala manusia yang berdarah dan sedang membutuhkan darah, supaya tetap hidup. Tapi orang bisa membela, bahwa Dr. Djaka jauh lebih merangsang imajinasi anak dibanding dengan cerita semacam Woody Woodpecker yang mungkin mempertumpul imajinasi. Bandingkan dengan Robert Warshow, "Paul, the Horror Comics, and Dr. Wertham", Commentary, Vol. 17 (1954), hal. 596-604. Dimuat kembali dalam Mass Culture, The Popular Arts in America (editor : Bernard Rosenberg & David Manning White), (New York : The Free Press, 1957), hal 199-210. 3 Lihat Pierre Couperie dan kawan-kawan : A History of the Comic Strip (terjemahan Inggris atas Bande Dessine'e et Figuration Narrative), Crown Publishers, Inc., 1973), hal. 129-145. Lihat juga Les Daniels ; Comix, A History of Comic Books in America, (New York: Bonanza Books, 1971), hal. 9-17 4 Dalam menyerang Comics Code (1954) di Amerika yang merupakan pembatasan sukarela para penerbit komik terhadap diri mereka sendiri, Prof. Leslie A. Fielder menyatakan : ".... it is clear that the comic books finally benefied by being thus reminded of their disreputable origins and their obligation to remain at all costs part of an advesary culture, colloquial, irreverent, and unredeemably subversive". Dalam The New York Times Book Review, 5 September 1976. 5 Tokoh komik agaknya di sana bisa berperan sebagaimana tokoh wayang bagi orang Jawa dan Sunda, "a ready-made satrical imagery, immediately applicable to real people and problems". Lihat A History of the Comic Strip, hal. 151. 6 Umumnya kisah superhero juga bersih dari unsur erotis. Tentu saja ada perkecualian. Serial Rado oleh Ricky N.S., misalnya, mengesankan "adegan ranjang" dalam cerita Ditunggu Pengadilan. Dalam Jarum Maut dan Misteri Emas Berdarah adegan sejenis ditutup dengan huruf-huruf "SENSOR". Dalam hal itu Rado mungkin tak jauh bebrbeda dengan serial Garth, yang tiap hari muncul di Kompas. 7 Humor dengan unsur ejekan pada diri sendiri sebagai cerita fantasi, dalam komik Amerika agaknya secara menonjol hanya terdapat dalam tokoh superhero Spider Man. Spider Man dalam hidup sehari-hari adalah Peter Parker, anak muda yang selalu berdompet kosong. Salah satu adegan dari cerita menunjukkan Spider Man berkata sendirian : "Some superhero I am ! Too broke to buy ticket to meet a new enemy !" |